Aku kesal sekali! Kenapa bukan pembimbing II yang memberikan nilai padaku? Beliau yang tau banyak perjuanganku mulai dari proposal, yang membantu dengan memberikan banyak referensi perkembangan juga eksperimennya. Beliau juga orang yang menyemangatiku bahwa aku terlambat lulus karena melakukan ‘sesuatu’. Beliau yang paham, aku bisa melakukan sesuatu. Beliau yang memberikan banyak andil dalam penelitianku. Aku yakin beliau akan memberikan nilai yang sama dengan teman-teman yang kulihat mendapatkan 85 dari pembimbingnya masing-masing, bukan 83.
Aku patah hati. Aku menangis. Tangisku bertambah ketika Pak Irfan membalas pesan singkatku.
“Iya, memang saya ga sempat ikut kasih nilai, tapi buat saya nana lebih dari A.”
Ah. Aku benar-benar menangis. Kali ini aku menangis di pinggir jalan karena aku sudah turun dari mobil teh Hani. Oh ya, di mobil sambil memeluk dan menenangkanku, teh Hani mengingatkanku.
“Belum tentu yang Nana mau, baik buat Nana, inget surat Al-Baqoroh? Nana usahakan dulu saja. Kalau memang betul nilai yang didapat hanya segitu, mau gak mau Nana harus siap nerima.”
Aku tak langsung pulang ke rumah. Kusempatkan untuk membeli awug di depan Indomar*t. Impulsif. Kucari alasan dan cara agar aku tak langsung pulang ke rumah. Eh ternyata stok awug siap makan sudah habis. Kutunggu awug dimasak dan duduk di teras Indomar*t.
Tiba-tiba pesan singkat dari Iffah masuk. Kutelpon dia. Aku masuk ke dalam Indomar*t supaya lebih jelas suaranya. Sambil mencari tisu tentunya. Ternyata stok tisu pun habis. Tangisku semakin deras di teras. Tangisku membuat beberapa orang lelaki yang duduk di sebelahku melihat ke arahku. Mungkin mereka pikir aku adalah korban putus cinta. Haha
Aku mencoba untuk menenangkan diri.
“Ya Allah. Apa salahku? Berdoa sudah, usaha udah, apa kurang sedekah? Kurang apa? Takaburkah? Tapi aku gak menggembar-gemborkan kalau aku ingin mendapat nilai A. Aku merahasiakannya hanya untuk diriku sendiri. Ya Allah, kenapa?”
Akhirnya awug pesananku matang, aku pulang. Pipi sudah kukeringkan dengan kerudung. Aku pulang sebelum langit ikut mendung. Sesampainya di rumah, kusempatkan bercerita kepada ibu dan adik. Aku menangis lagi.
Selesai sholat, teh Ferra SMS. Aku langsung meneleponnya dan bercerita tentang apa yang sedang terjadi.
“Sudah lihat nilai yang lain yang sama penguji dan ruangnya? Mungkin saja tertukar dan rasanya gak mungkin nilai antar penguji berbeda jauh hingga 10 poin,” ujar teh Ferra.
JRENG!
Aku melihat foto yang kuambil di ponsel sebelum pulang tadi. Benar ternyata! Nilaiku sepertinya tertukar dengan seorang teman yang ada dibawahku dalam urutan sidang kemarin. Aku langsung tertawa. Malu. Bahagia. Ah, semuanya bercampur satu. Bila benar begitu, maka nilaiku A! Yippie!
Dua hari kemudian, aku mengonfirmasi masalah nilai tersebut ke kantor TU. Benar yang terjadi. Nilaiku tertukar.
Allohu Robbi...
Aku sudah suudzon (berburuk sangka) kepada semua orang, terlebih pada-Mu. Ampuni aku ya Allah. Aku lulus sidang, tapi mungkin belum lulus ujian-Mu. Aku masih mudah panik, kurang tenang dan terkendali baik pikiran maupun emosi dalam menghadapi masalah. Aku pasti seburuk-buruknya lulusan di bulan Maret 2014. Nilai A, kini sedikit tidak berarti bagiku. Biasa saja. Lega, senang, tapi biasa saja. Apa aku juga menduakan-Mu? Astaghfirulloh. Padahal Engkaulah yang memudahkan segalanya, yang menjodohkanku dengan pembimbing yang begitu memudahkanku. Semua hanya Engkau yang memudahkan, menjadikan segalanya mudah. Alhamdulillahi a’la kulli haal. Skripsweet-ku. Kau benar-benar manis.
Menariknya, setelah kupikir-pikir rasanya Allah mengutus malaikatnya untuk menggodaku. Malaikat itu iseng menukar nilaiku. Kau ingat saat Bu Fita bilang, “Peserta sidang hari sidang kemarin yang dapet nilai A cuma satu orang loh.”?
Itu aku.
Ya Allah, terima kasih telah menakdirkan segala kemudahan ini, meski pun sulit tapi Engkau menguatkanku sepanjang perjalanan ini. Mencukupkanku selalu dengan anugerah kesehatan dan rizki yang selalu ada ketika dibutuhkan dalam upaya menyelesaikan skripsi ini. Terima kasih, segala puji bagi-Mu, selalu hanya bagi-Mu. Bahkan sampai detik terakhir kau masih bersamaku dan tidak membiarkanku ujub pada hasil dari semua jerih payah ini yang padahal tidak satu pun lelahku yang tidak menjadi kehendak-Mu. Terimakasih nikmat ini. Segala puji untuk-Mu. Untuk-Mu. Untuk-Mu.
Oh ya, ada yang bilang S1 mah jangan terlalu idealis, yang penting lulus. Enggak! Kamu harus idealis! Lakukan sebisa mungkin apa yang bisa dilakukan! Pikirkan manfaat dari penelitianmu. Pasti bisa! Cintai skripsimu dengan Bismillah... Semangat!! pasti Allah senantiasa membantu :D
Tidak ada komentar:
Posting Komentar